SIAPA YANG MEMBANGUN PERPECAHAN TNI – POLRI ?

260868_panglima-moeldoko-saat-apel-kesiapan-tni_663_382Tensi konflik hukum antara KPK – Polri paska penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto (BW) oleh Bareskrim Polri semakin meningkat. BW dikenakan pasal pidana karena ikut memberikan kesaksian palsu di persidangan MK dalam sengketa pilkada Kabupaten Waringin Barat. Beberapa kalangan menilai, penangkapan BW tersebut terkait erat dengan penetapan status tersangka terhadap calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG). Puluhan elemen masyarakat berkumpul di gedung KPK paska penangkapan BW untuk memberikan dukungan moril, termasuk beberapa tokoh atau mantan pejabat lembaga negara/ pemerintahan yang ingin dianggap sebagai figur yg anti korupsi. Berkembangnya isu penggeledahan gedung KPK oleh Bareskrim Polri terkait penangkapan BW tersebut, menimbulkan gelombang pengerahan massa untuk menjaga gedung KPK, bahkan massa membuat pagar betis untuk mencegah penggeledahan oleh Bareskrim Polri. Situasi tersebut digunakan Ketua KPK Abraham Samad untuk menghubungi Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk meminta bantuan pasukan TNI menjaga gedung KPK dari penggeledahan Bareskrim Polri. Gayung bersambut, Panglima TNI mengirimkan ratusan anggota Kopassus untuk menjaga gedung KPK. Panglima TNI berkilah bahwa pengerahan prajurit Kopassus tersebut untuk menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi agar tidak terjadi gesekan dilapangan antara KPK dan Polri.

Tindakan Abraham Samad yang meminta bantuan TNI dianggap anggota Kompolnas Adrianus Meliala sebagai orang yang tidak mengerti hukum. Samad tidak mengerti atau pura-pura bodoh, apa itu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI. Dalam UU No. 34/2004 tentang TNI disebutkan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Pasal ini jelas bahwa pengerahan prajurit TNI untuk mengatasi ancaman bersenjata dari luar (invasi asing) dan dari dalam (pemberontakan) dan harus melalui keputusan politik negara, artinya keputusan tersebut harus melalui mekanisme paripurna DPR RI. Apakah ancaman kedatangan penyidik Bareskrim Polri dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara ? Tampaknya Samad benar-benar tidak mengerti hukum.

Setali tiga uang dengan Abraham Samad adalah Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Jenderal TNI yang terkenal karena Jam KW –nya itu juga tidak paham aturan bahwa pengerahan prajurit TNI hanya untuk menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara dan harus melalui keputusan politik atau persetujuan DPR RI. Jenderal tersebut juga tidak paham bahwa TNI harus bekerjasama dengan Polri dalam kegiatan pertahanan dan keamanan. Dalam TAP MPR RI No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dinyatakan :

  • Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara.Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. (Pasal 1)
  • Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia harus bekerja sama dan saling membantu. (Pasal 2)

Panglima TNI mungkin lupa atau pura-pura lupa kalau saat ini era reformasi dan demokrasi, dimana fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan fungsi Polri memelihara keamanan. Mungkin Panglima TNI rindu era Orde Baru dimana TNI masih terlibat dalam urusan politik dengan dwi fungsinya. Kelakuan Abraham Samad yang meminta bantuan pasukan TNI dan kelakuan Jenderal Moeldoko yang mengerahkan prajurit TNI, bukan saja memperkeruh suasana, namun juga mengundang TNI untuk masuk lagi dalam arena politik yang dulu pernah kita tolak. Pengerahan prajurit Kopassus ke KPK bukan menyelesaikan masalah, namun malah menimbulkan masalah baru. Pengerahan prajurit TNI tersebut juga dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan antar prajurit TNI dan Polri diberbagai wilayah kesatuan. Tampaknya, Samad dan Jenderal Moeldoko ingin membenturkan TNI dengan Polri yang jelas-jelas melanggar TAP MPR dan UU TNI. Entah apa motivasi Jenderal Moeldoko mau disuruh Samad untuk mengerahkan prajurit Kopassus ke KPK. Apakah Jenderal Moeldoko berharap agar mendapat atensi dari Presiden Jokowi supaya tidak bernasib sama dengan Jenderal Sutarman. Atau berharap KPK tidak “mengobok-obok” korupsi ditubuh TNI, termasuk melacak rekening-rekening maha gendut Jenderal-Jenderal TNI yang disinyalir tidak kalah gendut dengan rekening jenderal-jenderal Polri. Atau Jenderal Moeldoko mau membonceng isu konflik hukum KPK-Polri untuk membangun pencitraan bahwa TNI pro rakyat untuk menghapus dosa-dosa masa lalu yang banyak dilakukan jenderal-jenderal TNI semasa Orde Baru ? Wallohualam Bishawwab…..

SIAPA YANG MENJERUMUSKAN KPK VS POLRI ?

1905754Memang tidak ada yang salah dengan pepatah latin “Fiat justisia ruat coelum” (meski langit runtuh, keadilan harus ditegakkan). Namun ketika pepatah itu digunakan Bambang Wijajanto (BW) dan Abraham Samad (AS) untuk menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka disaat beliau ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi “Soekarnoputri”, maka bisa berubah menjadi malapetaka bagi KPK dan Polri. Betapa tidak, BG adalah “perwira mahkota” yang dipersiapkan Kanjeng Ratu untuk menduduki singgasana di institusi Polri. Oleh karena itu, penetapan BG tersebut bukan saja telah mempermalukan Kanjeng Ratu, namun juga tantangan untuk adu kekuatan.

Mungkin BW dan AS lupa atau pura-pura pilon (bodoh) atau memang tidak mengerti apa itu “realitas politik” sehingga secara sadar atau tidak sadar telah menyeret institusi KPK dan Polri dalam jurang kehancuran. Betapa tidak, tindakan BW dan AS yang menetapkan BG sebagai TSK dengan tuduhan gratifikasi sama saja dengan “menampar pipi” Ketua Umum PDIP, pimpinan partai yang berkuasa saat ini. Mungkin gesekan antara KPK-Polri tidak akan terjadi jika penetapan TSK BG tersebut dilakukan semasa pemerintahan SBY atau jauh-jauh hari sebelum penetapannya sebagai calon tunggal Kapolri. Apakah BW dan AS tidak mengerti bahwa penetapan BG sebagai calon tunggal Kapolri tersebut merupakan “balas jasa” Kanjeng Ratu karena BG banyak membantu partai banteng merah tersebut sejak pemilu 2004, 2009 hingga 2014 ? Atau BW dan AS kena “jebakan Batman” lawan politik PDIP lewat Jenderal Sutarman yang sakit hati karena “dipaksa” pensiun dini sebelum masa dinasnya berakhir Oktober 2015 nanti ?

Karena merasa dipermalukan BW dan AS, maka Kanjeng Ratu marah luar binasa sehingga mengangkat Irjen Budi Waseso (besan BG) sebagai Kabareskrim untuk melakukan aksi “balas dendam” dengan menangkap dan memborgol BW ditengah jalan. Selain itu, Kanjeng Ratu juga memerintahkan Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristanto untuk membongkar kelakuan AS yang beberapa kali bertandang menemui elit PDIP untuk memohon disandingkan dengan Jokowi sebagai cawapres. Nasi sudah kadung menjadi bubur ayam, banteng marah besar dan tanduknya menyeruduk siapa saja yang dianggapnya telah mempermalukannya dan terakhir tanduknya menancap di Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja. Adnan dilaporkan ke Bareskrim Polri atas tuduhan “perampokan” saham PT. Desy Timber di Kaltim pada tahun 2006. Setelah Adnan Pandu Praja, mungkin akan menyusul beberapa orang lagi yang dianggapnya terlibat dengan penggagalan BG sebagai Kapolri dan mereka yang berkoar “sok bersih” padahal banyak dosa dimasa lalu.

Jika BW dan APP nantinya ditetapkan sebagai TSK dan AS diberhentikan sebagai ketua KPK karena melanggar kode etik pimpinan KPK, maka otomatis KPK hanya dipimpin oleh satu ketua, yakni Zulkarnaen. Namun apakah KPK masih bisa tetap berjalan ? jelas bisa, namun tidak berjalan efektif, karena Zulkarnaen kurang berani dan tidak mau mengambil keputusan yang sarat resiko politik. Dengan adanya kekosongan pimpinan KPK, maka pemerintah dan DPR akan mempercepat pemilihan pimpinan KPK yang baru. Dan bersamaan dengan itu, pemerintah (partai yang berkuasa) dan DPR melakukan pembahasan Revisi UU No. 30/2002 tentang KPK untuk mempreteli kewenangan dan “super body” –nya.

POLRI DALAM PUSARAN POLITIK & KEKUASAAN

BN-CK100_0416IN_G_20140416082259Proses reformasi yang sedang berlangsung di Indonesia pada dasarnya merupakan perjuangan menuju masyarakat sipil yang demokratis. Demikian pula dengan proses reformasi yang terjadi dalam tubuh Polri merupakan usaha untuk memperbaiki citranya sebagai lembaga penegak hukum yang kredibel dan akuntabel. Selama pemerintahan orde baru, citra Polri sebagai unsure keamanan negara mengalami kemerosotan yang luar biasa. Polri yang ditempatkan di bawah ABRI cenderung menampakkan wajah militeristiknya serta digunakan sebagai alat kekuasaan. Awaluddin Djamin melukiskan kemerosotan Polri itu karena kekeliruan penjabaran integritas ABRI karena Polri tunduk pada panglima ABRI sehingga tugas Polri banyak diintervensi oleh pihak TNI. Integrasi Polri ke ABRI berlangsung sejak tahun 1969-1999, suatu waktu yang sangat lama.

Parsudi Suparlan mengatakan bahwa keberadaan Polri ditentukan oleh kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang otoriter dan despotik, maka polisi juga akan menjadi despotik dan otoriter dan menjadi kaki tangan yang setia dalam melindungi keamanan dan kesejahteraan hidup, serta melestarikan dan memperkuat kekuasaan pemerintahannya yang otiriter-despotik beserta oknum-oknumnya, sedangkan dalam corak masyarakat sipil yang demokratis, fungsi polisi juga akan menyesuaikan dengan corak masyarakat sipil yang demokratis itu . Pandangan Suparlan memiliki kesamaan dengan pandangan Reksodiputro dan Richardson yang mengatakan bahwa polisi sebagai alat negara atau sebuah departemen pemerintahan yang didirikan untuk memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat, menegakkan hukum, mendeteksi dan mencegah kejahatan serta memeranginya. Secara lebih khusus fungsi polisi adalah memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat agar masyarakat itu dapat hidup secara beradab.

Konsepsi yang dikemukakan beberapa pakar kepolisian tersebut diatas, memberikan gambaran jelas adanya hubungan antara institutional of interest group (kelompok kepentingan institusional) dengan keberadaan Polri. Dalam kehidupan bernegara pun, interest group memiliki arti yang amat penting sebagai suatu kekuatan politik karena kelompok ini selalu mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah serta lembaga-lembaga politik lainnya. Suatu interest group terdapat dalam sistem politik tertentu yang berjalan dengan fungsinya sejumlah infrastruktur politik yang mengartikulasikan berbagai kepentingan yang ada. Fungsi artikulasi kepentingan menurut Rod Hague (1992) yang meliputi formulasi tuntutan dan transmisi dari masyarakat luas kedalam sistem politik yang dilakukan oleh infrastruktur politik, seperti interenst group, partai politik, media massa, gerakan massa dan sebagainya. Kepentingan yang diartikulasikan bermacam-macam, ada yang hanya menjadi sekedar pressure group (kelompok penekan), juga ada yang secara sengaja membangun hubungan interaktif dengan kekuasaan.

Hubungan kepolisian dan politik ternyata telah berkembang sangat lama sejak jaman feodal dan kolonial (sebelum revolusi Perancis, 1789). Sejak itu kepolisian lebih banyak digunakan untuk kepentingan penguasa dari pada kepentingan publik. Di Inggris dengan penggunaan “constable” merupakan cerminan dimulainya campur tangan penguasa terhadap penyelenggaraan fungsi kepolisian pada era “Norman Feodalism”. Dalam hal ini bukan lagi mewakili kelompok-kelompok masyarakat sebagaimana idealnya polisi tetapi meupakan mewakili kepentingan raja. Pendekatan itu menandai kegagalan pertama sistem kepolisian yang semata-mata berorientasi pada negara

Penggunaan kepolisian bagi kepentingan kekuasaan ternyata diadopsi di negara-negara jajahan. Termasuk model ini pernah diterapkan di Indonesia ketika masih dalam penjajahan Belanda. Demikian pula dalam perkembangan kepolisian modern nyatanya sukar melepaskan diri dari kodratnya sebagai alat kekuasaan. Hal itu terjadi di Uni Sovyet, yang digunakan oleh partai komunis, polisi disana dikenal dengan sebutan KGB, tahun 1950-an dan 1970-an kepolisian Jepang pernah dikecam sebagai kepolisian yang berorientasi politik. Masyarakat Amerika Serikat menentang segala upaya untuk membentuk badan kepolisian nasional yang sentralistik, mereka menghawatirkan penyalahgunaan wewenang kepolisian yang bersifat memaksa (couscive power) untuk kepentingan politik. Dalam hubungannya dengan sistem politik dan kekuasaan, Ronald Weitzer dan Stenning berpendapat : “The police may be evaluated not only by what they symbolize. In some societies, they are very strongly associeted with the existing political system where they are very autonomous of it. Moreover, attack on police are often driven by political motives. Police would become a political instrument of government or monarchy.”

Kasus perseteruan antara “pimpinan Polri” dengan “pimpinan KPK” yang berujung pada penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto dan isu lobi politik posisi Wapres oleh Ketua KPK Abraham Samad paska penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan menunjukkan adanya pola hubungan politik dan kekuasaan antara interest group ditubuh Polri dengan elit partai yang berkuasa. Penetapan tersangka terhadap Komjen Budi Gunawan selain telah mempermalukan, juga telah memupuskan harapan Ketua Umum PDIP untuk menempatkan “kadernya” sebagai orang pertama di institusi Polri. Oleh karena itu muncul “aksi balas dendam” terhadap pimpinan KPK. Hal serupa juga pernah terjadi ketika Presiden Gus Dur mengangkat Komjen Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri, sementara Jenderal Bimantoro yang didukung DPR menolak penonaktifannya. Pola hubungan politik dan kekuasaan antara interest group Polri dengan kekuasaan juga dapat dilihat dari lobi-lobi perwira Polri ke elit partai politik untuk menduduki jabatan-jabatan strategis serta masuknya beberapa jenderal polisi dan mantan Kapolri menjadi pengurus partai politik.

Keterlibatan Polri dalam politik dan kekuasaan akan terus berlanjut selama institusi Polri masih berada dalam ranah kekuasaan. Untuk itu, perlu adanya wacana untuk menempatkan Polri diluar struktur politik/ kekuasaan dan berdiri secara independen bersama-sama Kejaksaan dan Kehakiman. Wallohualam Bishawwab…..