POLRI DALAM PUSARAN POLITIK & KEKUASAAN

BN-CK100_0416IN_G_20140416082259Proses reformasi yang sedang berlangsung di Indonesia pada dasarnya merupakan perjuangan menuju masyarakat sipil yang demokratis. Demikian pula dengan proses reformasi yang terjadi dalam tubuh Polri merupakan usaha untuk memperbaiki citranya sebagai lembaga penegak hukum yang kredibel dan akuntabel. Selama pemerintahan orde baru, citra Polri sebagai unsure keamanan negara mengalami kemerosotan yang luar biasa. Polri yang ditempatkan di bawah ABRI cenderung menampakkan wajah militeristiknya serta digunakan sebagai alat kekuasaan. Awaluddin Djamin melukiskan kemerosotan Polri itu karena kekeliruan penjabaran integritas ABRI karena Polri tunduk pada panglima ABRI sehingga tugas Polri banyak diintervensi oleh pihak TNI. Integrasi Polri ke ABRI berlangsung sejak tahun 1969-1999, suatu waktu yang sangat lama.

Parsudi Suparlan mengatakan bahwa keberadaan Polri ditentukan oleh kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang otoriter dan despotik, maka polisi juga akan menjadi despotik dan otoriter dan menjadi kaki tangan yang setia dalam melindungi keamanan dan kesejahteraan hidup, serta melestarikan dan memperkuat kekuasaan pemerintahannya yang otiriter-despotik beserta oknum-oknumnya, sedangkan dalam corak masyarakat sipil yang demokratis, fungsi polisi juga akan menyesuaikan dengan corak masyarakat sipil yang demokratis itu . Pandangan Suparlan memiliki kesamaan dengan pandangan Reksodiputro dan Richardson yang mengatakan bahwa polisi sebagai alat negara atau sebuah departemen pemerintahan yang didirikan untuk memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat, menegakkan hukum, mendeteksi dan mencegah kejahatan serta memeranginya. Secara lebih khusus fungsi polisi adalah memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat agar masyarakat itu dapat hidup secara beradab.

Konsepsi yang dikemukakan beberapa pakar kepolisian tersebut diatas, memberikan gambaran jelas adanya hubungan antara institutional of interest group (kelompok kepentingan institusional) dengan keberadaan Polri. Dalam kehidupan bernegara pun, interest group memiliki arti yang amat penting sebagai suatu kekuatan politik karena kelompok ini selalu mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah serta lembaga-lembaga politik lainnya. Suatu interest group terdapat dalam sistem politik tertentu yang berjalan dengan fungsinya sejumlah infrastruktur politik yang mengartikulasikan berbagai kepentingan yang ada. Fungsi artikulasi kepentingan menurut Rod Hague (1992) yang meliputi formulasi tuntutan dan transmisi dari masyarakat luas kedalam sistem politik yang dilakukan oleh infrastruktur politik, seperti interenst group, partai politik, media massa, gerakan massa dan sebagainya. Kepentingan yang diartikulasikan bermacam-macam, ada yang hanya menjadi sekedar pressure group (kelompok penekan), juga ada yang secara sengaja membangun hubungan interaktif dengan kekuasaan.

Hubungan kepolisian dan politik ternyata telah berkembang sangat lama sejak jaman feodal dan kolonial (sebelum revolusi Perancis, 1789). Sejak itu kepolisian lebih banyak digunakan untuk kepentingan penguasa dari pada kepentingan publik. Di Inggris dengan penggunaan “constable” merupakan cerminan dimulainya campur tangan penguasa terhadap penyelenggaraan fungsi kepolisian pada era “Norman Feodalism”. Dalam hal ini bukan lagi mewakili kelompok-kelompok masyarakat sebagaimana idealnya polisi tetapi meupakan mewakili kepentingan raja. Pendekatan itu menandai kegagalan pertama sistem kepolisian yang semata-mata berorientasi pada negara

Penggunaan kepolisian bagi kepentingan kekuasaan ternyata diadopsi di negara-negara jajahan. Termasuk model ini pernah diterapkan di Indonesia ketika masih dalam penjajahan Belanda. Demikian pula dalam perkembangan kepolisian modern nyatanya sukar melepaskan diri dari kodratnya sebagai alat kekuasaan. Hal itu terjadi di Uni Sovyet, yang digunakan oleh partai komunis, polisi disana dikenal dengan sebutan KGB, tahun 1950-an dan 1970-an kepolisian Jepang pernah dikecam sebagai kepolisian yang berorientasi politik. Masyarakat Amerika Serikat menentang segala upaya untuk membentuk badan kepolisian nasional yang sentralistik, mereka menghawatirkan penyalahgunaan wewenang kepolisian yang bersifat memaksa (couscive power) untuk kepentingan politik. Dalam hubungannya dengan sistem politik dan kekuasaan, Ronald Weitzer dan Stenning berpendapat : “The police may be evaluated not only by what they symbolize. In some societies, they are very strongly associeted with the existing political system where they are very autonomous of it. Moreover, attack on police are often driven by political motives. Police would become a political instrument of government or monarchy.”

Kasus perseteruan antara “pimpinan Polri” dengan “pimpinan KPK” yang berujung pada penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto dan isu lobi politik posisi Wapres oleh Ketua KPK Abraham Samad paska penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan menunjukkan adanya pola hubungan politik dan kekuasaan antara interest group ditubuh Polri dengan elit partai yang berkuasa. Penetapan tersangka terhadap Komjen Budi Gunawan selain telah mempermalukan, juga telah memupuskan harapan Ketua Umum PDIP untuk menempatkan “kadernya” sebagai orang pertama di institusi Polri. Oleh karena itu muncul “aksi balas dendam” terhadap pimpinan KPK. Hal serupa juga pernah terjadi ketika Presiden Gus Dur mengangkat Komjen Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri, sementara Jenderal Bimantoro yang didukung DPR menolak penonaktifannya. Pola hubungan politik dan kekuasaan antara interest group Polri dengan kekuasaan juga dapat dilihat dari lobi-lobi perwira Polri ke elit partai politik untuk menduduki jabatan-jabatan strategis serta masuknya beberapa jenderal polisi dan mantan Kapolri menjadi pengurus partai politik.

Keterlibatan Polri dalam politik dan kekuasaan akan terus berlanjut selama institusi Polri masih berada dalam ranah kekuasaan. Untuk itu, perlu adanya wacana untuk menempatkan Polri diluar struktur politik/ kekuasaan dan berdiri secara independen bersama-sama Kejaksaan dan Kehakiman. Wallohualam Bishawwab…..